Rabu, 07 Januari 2009

René Descartes (IPA: ʀəˈne deˈkaʀt; lahir di La Haye, Perancis, 31 Maret 1596 – wafat di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650 dalam umur 53 tahun), juga dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literatur berbahasa Latin, merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641).
Descartes, kadang dipanggil "Penemu Filsafat Modern" dan "Bapak Matematika Modern", adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah barat modern. Dia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa mereka untuk membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental, sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18.
Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena pendapatnya yang revolusioner bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir.
Dalam bahasa Latin kalimat ini adalah: cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa Perancis adalah: Je pense donc je suis. Keduanya artinya adalah:
"Aku berpikir maka aku ada". (Ing: I think, therefore I am)
Meski paling dikenal karena karya-karya filosofinya, dia juga telah terkenal sebagai pencipta sistem koordinat Kartesius, yang mempengaruhi perkembangan kalkulus modern

"Descartes (1596-1650) biasanya dipandang sebagai bapak filsafat modern. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Bertrand Russel dalam History of Western Philosophy. Descartes merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. (Russel, History of Western Philosophy, 542) Ada sesuatu yang baru dalam filsafat Descartes yang tidak dijumpai dalam filosof-filosof besar semenjak Plato. Seluruh filosof abad pertengahan merupakan pengajar, sementara Descartes adalah penulis, bukan sebagai pengajar. Ia adalah penjelajah dan penemu, dan orang yang cemas terhadap komunitas yang didapatinya."
Tuhanku, semakin Aku berilmu semakin bertambah kejahilanku, tambahkanlah kejahilan kepadaku.
Merunut kembali dari apa yang dibahas pada kesempatan-kesempatan yang lalu, telah diurai secara semi-detail ihwal Mazhab Rasionalisme, yang kemudian lebih mengurucut menjadi Rasionalisme Filsafat Realistik dan Rasionalisme Filsafat Idealistik.
Kali ini makalah sederhana ini dialokasikan untuk membahas tokoh Mazhab Rasionalis serta memberikan sedikit catatan-catatan tentang ketidakutuhan postulat Descartes yang beranggapan bahwa tidak ada yang lebih niscaya dan meragukan dari menggunakan postulat "Aku ragu" (dubito) atau "Aku berpikir" (cogito) dalam berkonfrontasi dengan realitas. Mengapa, menurut Descartes, lantaran mustahil ragu hadir tanpa peragu. Dengan meragukan segala sesuatu (to doubt all things) Descartes mencoba menguak realitas dunia luar. Layak untuk ditegaskan kembali bahwa Descartes mengusung postulat ini adalah untuk berhadapan dengan kaum Skeptisme yang mengingkari realitas. Descartes dalam redaksi postulatnya "Cogito ergo Sum" atau "Dubito ergo Sum" menggunakan bahasa Latin.
Menyoroti redaksi "Dubito Ergo Sum", dubito derivasinya dari dubitare dengan pronomina "to". Berbeda kalau dubito yang diungkapkan oleh Descartes diartikan sebagai "scecttico" yang berpadanan dengan "sceptic" dalam bahasa Inggris. Skeptism dalam bahasa Itali (Latin kiwari) sepadan dengan "scetticismo". Skeptic dengan ajektif menjadi "skeptical" dalam kamus Oxford bermakna "unwilling to believe something" sementara "doubt" sekedar bermakna tidak yakin saja atau uncertain, not sure. Socrates maju ke depan menghadapi puak-puak Sofis yang memang meragukan seluruh realitas. Bahkan pada titik kulminasinya, mereka menolak realitas yang ada. Puak-puak Sofis ini yang kemudian dikenal sebagai penganut paham skeptik mutlak; yaitu menolak semua realitas.
Dalam dunia sains dewasa ini terminologi "The Benefit of Doubt" adalah yang mendorong orang untuk mencari kebenaran-kebenaran sains. Bukan untuk menolaknya. Yaitu meragukan sesuatu kemudian menyingkapnya dengan penelitian dan pengkajian.
Pembaharu
Descartes (1596-1650) biasanya dipandang sebagai bapak filsafat modern. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Bertrand Russel dalam History of Western Philosophy. Descartes merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. (Russel, History of Western Philosophy, 542) Ada sesuatu yang baru dalam filsafat Descartes yang tidak dijumpai dalam filosof-filosof besar semenjak Plato. Seluruh filosof abad pertengahan merupakan pengajar, sementara Descartes adalah penulis, bukan sebagai pengajar. Ia adalah penjelajah dan penemu, dan orang yang cemas terhadap komunitas yang didapatinya.

Descartes dan Filsafat Baru
Descartes adalah seorang matematikawan yang berupaya membangun filsafat sebagaimana konstruksi matematika, oleh karena itu, ia memulainya dengan suatu keraguan dan melanjutkannya dengan metode matematika. Dengan ini, terbentuklah suatu filsafat baru. Ia memulai dengan langkah seorang Skeptis dan keluar dari keraguan sebagaimana yang dilakukan oleh Augustine.
Adapun persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain:
1. Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
2. Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
3. Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
4. Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Metode ideal yang ditawarkan oleh Descartes untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, antara lain:
1. Setiap persoalan sebisa mungkin dianalisa dan dibagi dalam bagian-bagian yang terkecil;
2. Hanya menerima suatu hakikat yang gamblang dan badihi;
3. Mengatur semua pemikiran kita sendiri dan menggabungkan hal-hal yang paling sederhana;
4. Dalam proses pengaturan pemikiran ini, jangan sampai ada yang terlewatkan. (Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar Eropa, hal. 167-172
Descartes menjadikan hal yang tergamblang, penggabungan, analisa, dan keraguan segala sesuatu dalam mencapai pengetahuan pertama sebagai metode sempurna dalam menggapai pengetahuan-pengetahuan selanjutnya.
Dalam tingkatan keraguan, pertama-tama meragukan segala yang diperoleh oleh panca indra, menganggap bahwa kita dalam kondisi tidur atau mengkhayal, dan tertipu oleh setan. Intinya, kita mesti meragukan apa yang diyakini dan harus sampai pada puncak keraguan. Setelah mencapai puncak keraguan, langkah selanjutnya adalah menemukan pengetahuan pertama, dan terus mencari ilmu secara bertahap dengan pengetahuan pertama tersebut. (Rene Descartes,Taammulât, hal. 35-48)
Tahapan kedua, perjalanan dari ragu ke yakin. Pada tahapan ini, Descartes berkata, "Saya ragu pada setiap sesuatu, namu saya tidak bisa meragukan keraguan saya itu, saya yakin pada keraguan saya sendiri dan dikarenakan keberadaan keraguan ini, saya sampai pada suatu keyakinan terhadap eksistensi peragu. (Rene Descartes,Taammulât, hal. 46-47)
Menurut Descartes, tolok ukur hakikat itu ialah kegamblangan dan keterpisahan, yakni setiap perkara seperti keraguan, sedemikian gamblang dan terpisah satu dengan lainnya sehingga tidak bisa diragukan lagi, inilah pengetahuan hakiki. Rene Descartes,Taammulât, hal. 51-53)
Keyakinan terhadap persepsi fitrah juga merupakan gagasan penting dalam filsafat Descartes. Konsep-konsep fitrah seperti, Tuhan, waktu, jiwa, dan benda, yakni perkara-perkara yang secara potensial terdapat dalam jiwa yang kemudian mengaktual secara evolutif. Iasangat menekankan aspek-aspek epistemologi dan meyakini kesesuaian gambaran pikiran dan realitas eksternal. (Rene Descartes,Taammulât, hal. 124-125)
Descartes mengatakan bahwa postulat "Aku berfikir, karena itu Aku ada" adalah sedemikian kukuh dan niscaya.. sehingga kaum Skeptis tidak lagi dapat menggoyahkannya. Postulat "Aku berpikir (cogito) atau Aku ragu (dubito), yakni apabila seorang meragukan segala sesuatu, ia tetap tidak akan pernah meragukan keberadaan dirinya sendiri. Mengingat keraguan tidak bermakna tanpa peragu, maka keberadaan manusia peragu dan pemikir adalah sesuatu yang tidak bisa diragukan. Kebenaran tentang aku yang meragukan ini bagi Descartes merupakan kepastian karena aku mengerti hal itu dengan ‘jelas dan khas’ (clear and distinc). Metode sangsi ini yang kemudian menjadi starting point filsafat Descartes.

Isykalan atas Postulat Cogito ergo Sum
Isykalan yang dapat dikenakan kepada Descartes adalah, dia berargumentasi dengan wujudnya ragu atas diri (nafs). Sementara manusia sebelum mencapai terminal ragu, terlebih dahulu dia harus temukan dirinya. Dan Descartes sendiri yang berkata "Aku ragu (dubito)" dari sini akan menjadi terang bahwa Descartes tidak menemukan "ragu mutlak" akan tetapi "ragu bersyarat". Sebelum dia menemukan "keraguan", terlebih dahulu dia jumpai dirinya sendiri. Maksudnya adalah Descartes sebelum dia memberikan hukum dan berkata "ergo sum" dia telah mengitsbat dirinya pada kata "to". Dan tak tercapai lagi gilirannya ketika dia mengejar "ergo sum". Karena keraguan tidak mungkin dapat terwujud tanpa adanya seorang peragu yang meragukan sesuatu. Dan di sinilah peran seorang peragu. Dirinya yang ia temukan sebelum segala sesuatu. Dimana dalam kasus Descartes, "Aku" adalah sedemikian jelas dan presentifnya (hudhuri).
Oleh karena itu, jika sekiranya ada orang yang beranggapan bahwa tidak ada yang paling niscaya dan jelas yang sederajat dengan "Aku ragu" bahkan keberadaan peragu itu sendiri berasal dari rasa ragu itu sendiri, sementara anggapan ini keliru, akan tetapi eksistensi "Aku" at least, seukuran ragu yang merupakan salah satu kondisi seseorang, maka anggapan ini jelas dan tidak dapat diragukan. Namun rahasia undubitable-nya ragu dan peragu terletak pada pendedahan jenis-jenis dan bagian-bagian ilmu dan pencerapan. Maksudnya, ragu dan peragu terletak pada knowledge by presence (ilm huduri). Insya…. ke depan kita akan membahas divisi ilmu pengetahuan yang terbagi menjadi dua, acquired knowledge (ilm husuli) dan knowledge by presence (ilm huduri). Kali ini pembahasan kita ingin menyoal kembali atau meragukan kesangsian Descartes yang mengklaim dapat menguak full-realitas.
Burhan yang diusung oleh Descartes adalah didapatkan melalui burhan intuisi efek jiwa. Meskipun anehnya, sebagian cendekiawan Barat dan Iran ketika menelaah karya Ibn Sina beranggapan bahwa burhan popular dari Ibn Sina dalam membuktikan tajarrud-e nafs adalah serupa dengan burhan popular Descartes. Dan Descartes memplagiatnya dari Ibn Sina. Padahal menganggap burhan yang diusung oleh Ibn Sina dan burhan yang dipopulerkan oleh Descartes sebagai suatu hal yang satu adalah sebuah kesalahan besar. Lantaran, Ibn Sina jalan mendapatkan dan menguak realitas melalui "indirect intuition" (musyâhada bela wâsat-e) dan langsung (ilm huduri) yang merembes masuk ke dalam nafs.

Kesangsian atas Keraguan Descartes
Menurut Ayatullah Jawadi Amuli dalam kitabnya, A Commentary on Theistic Arguments (terjemahan dari Parsi, Tabyin-e Barâhin Itsbât-e Wujud-e Khudâ), mengatakan kegagalan Descartes dalam menguak realitas melalui efek-efek dirinya. Descartes menempatkan dirinya sebagai realitas pertama dengan menggunakan ragu sebagai "hadd-e wasat" (premis antara minor dan mayor) dalam argumennya tersebut. Untuk membuktikan ekistensi jiwa seseorang dengan menggunakan keraguan dan pemikiran sebagai hadd-e wasat, di samping menempatkan diri di antara hal-hal yang sudah eksis melalui wujud zihn dan terdapat di dalam kontainer zihn (benak), argumen ini telah menggoncang tatanan primernya (awwaliyah) pengetahuan terhadap zihn (benak) itu sendiri. (A Commentary on Theistic Arguments, Ayatullah Jawadi Âmuli, hal. 56)
Lagi, menurut Ayatullah Aqa-e Jawadi Amuli, yang menukil dari Ibn Sina (al-Isyarât wa al-Tanbihât dan Psikologi Syifa) dan Mulla Shadra (pembahasan psikologi Asfar), bahwa manusia tidak dapat membuktikan wujudnya melalui efek-efeknya sendiri, misalnya melalui zihn (mental) atau eksternal (khariji), kognitif (nazari) atau praktikal ('amali).
Ibn Sina dalam Isyârat wa al-Tanbihât, berargumen bahwa jika seseorang meragukan dirinya dan hendak membuktikannya melalui efek-efeknya, melalui pikirannya, dia ingin mengitsbat dirinya, dalam premis minor, dia akan menyebutkan pikiran mutlak atau pikirannya sendiri. Jika efek (pikiran) yang disebutkan secara mutlak, tidak menyebut "pikiranku", argumen ini tidak dapat meng-itsbat dirinya. At most, hanya akan menunjukkan bahwa terdapat seorang pelaku dari atsar (efek) tersebut, seorang pemikir, yang memproduksi pikiran ini. Namun, jika pikiran-pikiran yang disebutkan di sini misalnya, "Aku berpikir" dalam kasus ini, "Aku" dan realitasnya telah diprasupposisikan sebagai pelaku pikiran tersebut, maka sebagai konklusinya ia tidak dapat mendemonstrasikan eksistensi diri. Argumen Ibn Sina mengilustrasikan bahwa manusia tidak dapat mengenal dirinya sendiri melalui argumen-argumen rasional dan hadd-e wasat (middle terms) seperti pikirannya, sebaliknya, dia secara intuitif mengetahui dirinya melalui dirinya sendiri sebelum melalui efek-efeknya.
Oleh karena dapat dikatakan bahwa postulat "Cogito Ergo Sum" atau "Dubito Ergo Sum" yang diintrodusir oleh Descartes sebagai metode sangsi dalam memahami dan menguak tabir realitas masih layak untuk diragukan.[]